“Kalian cuma berteman biasa, kan?”

Greyy
4 min readJan 18, 2024

--

Kuakui, aku jauh lebih lemah dari sosokmu, bahkan cenderung penakut untuk ukuran seorang anak laki-laki. Jauh jika dibandingkan dengan Samudera yang selalu siap pasang badan ketika aku terluka. Satu-satunya yang selalu sedia membela dan mendukungku, ketika dunia bahkan memintaku untuk jatuh dan menyerah.

Kuakui aku telah jatuh padamu, melewati batas yang kuanggap sebagai bentuk kata normal.

“Nusa, kamu deket banget ya sama Samudera, kalian beneran cuma berteman aja kan?”

Saat itu kami sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama, seorang anak bernama Anna yang merupakan teman sekelas kami bertanya. Lantas, kudongakkan kepala dari novel hasil meminjam di perpustakaan sekolah.

“Maksudmu?” tanyaku dengan sebelah alis terangkat.

Anak perempuan berambut cokelat terang itu menghela napas. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu deh,” balasnya sambil memutar bola matanya. “Kamu sama dia…” anak itu menunjuk bangku kosong di sebelahku, tempat dimana tas Samudera berada.

“Hubungan kalian normal cuma sebatas teman kan?” Dia mengulangi pertanyaannya lagi.

Aku terdiam sebentar, memikirkan sedikit hari-hari yang kami lalui bersama. Kurasakan tidak ada hal aneh bahkan termasuk fakta jika Samudera suka tiba-tiba menginap di rumahku karena sekedar ingin tidur bersamaku atau, sikap jahilnya yang suka tiba-tiba memeluk dan mencium pipiku. Kami sudah berteman lama sejak kecil, ini hal yang normal bukan?

Aku mengangguk. “Tentu saja, kenapa kau bertanya begitu?”

Anak itu berdiri, berjalan mendekati mejaku sembari matanya jelalatan menelusuri setiap jengkal kelas sebelum kemudian mendudukkan diri di kursi kosong milik Samudera. Dia berbisik, “Ada rumor yang mengatakan kalau kalian berpacaran.”

Mataku membulat sempurna mendengarnya. “Kami?” tanyaku dengan intonasi sedikit naik.

Anna mengangguk mantap.

“Siapa yang mengatakan hal bodoh seperti itu?”

Anna memundurkan tubuhnya, kemudian memutar arah duduknya ke depan sambil menopang dagu di atas meja. “Siapa lagi kalau bukan Yolanda si tukang gosip, sepertinya dia masih tidak terima karena Samudera setuju untuk putus setelah seminggu berpacaran. Padahal, bukannya semua orang tahu kalau berpacaran dengan Samudera tidak akan bisa awet dan bertahan lama ya? Kenapa masih ngotot!”

Aku terdiam sebentar, ucapan Anna sangat masuk akal untuk dipikirkan. Samudera berpacaran dengan Yolanda baru-baru ini dan itu pun hanya seminggu tanpa ada jadwal kencan layaknya pasangan pada umumnya. Dan hal itu, juga terjadi pada mantan-mantannya dulu.

Kalau ditanya soal jadwal kencan pun, Samudera hanya menjawab, “Aku lebih suka pergi sama kamu, mereka terlalu berisik dan banyak maunya.”

Padahal faktanya, aku pun merasa kalau aku orang yang berisik dan senang merengek.

Benar, kenapa aku baru menyadarinya sekarang?

Kemanakah aku selama ini?

“Tapi jujur, kalau jadi Yolanda pun aku pasti bakal kesel. Aku dengar alasan dia meminta putus pun karena kamu, Sa.”

“Aku?”

“Iya, soalnya Samudera selalu naruh kamu jadi prioritas pertamanya.” Aku terdiam, lagi. “Tapi emang hubungan kalian cuma sekedar ‘berteman’ saja kan?”

Aku mengangguk. “Kami hanya berteman, kok.”

Anna menolehkan kepalanya, wajahnya dia dekatkan dengan wajahku sampai kepalaku terasa membentur dinding, matanya dengan serius menatapku. “Tapi kalau Samudera suka sama kamu gimana? dalam konteks seperti perempuan dan laki-laki.”

Samudera… Menyukaiku?

Memang boleh ya lelaki saling jatuh cinta?

Hei, bukankah itu hal yang err… Tidak normal?

Tapi kalau hal itu bukanlah hal yang normal, lantas bagaimana dengan kami satu sama lain selama ini?

“E-eh aku… Ku-kura-”

“Menyingkir.” suara bass nan tegas terdengar menginterupsi, kudongakkan kepala dan menemukanmu menatap kami dengan tatapan datar. Kamu tidak pernah menatapku seperti itu sebelumnya, dan ini adalah kali pertama tatapan lembutmu menghilang di dalam mata indahmu.

“E-eh Samudera? Mau duduk ya? Oke-oke aku balik. Nusa, aku balik dulu ya,” pamit Anna yang kutanggapi dengan anggukan dan senyuman kecil. Setelah anak perempuan pergi, Samudera mendudukkan diri di bangkunya.

Lagi, kuamati tatapanmu berubah, sedikit melembut walau kesan masam setia menghiasi wajah rupawanmu.

“Ada apa?” tanyamu dengan suara dilembutkan seperti biasa. Aku tersenyum lalu menggeleng. Kamu terkekeh kemudian menyodorkan sekotak susu pisang kesukaanku. “Maaf, aku lama baliknya,” ucapmu sembari menghela napas lelah.

Aku menatap susu pisang yang kamu sodorkan dengan berbinar. “Beneran buat aku?”

Kamu mengangguk dengan senyum lebar terlukis di wajah. “Iya, anggap aja permintaan maafku soalnya ninggalin kamu sendirian, osis lagi sibuk-sibuknya.” Tak lupa, tanganmu yang memiliki ukuran jauh lebih besar dariku selalu mencuri kesempatan untuk menyapa anak rambutku.

“Nggak papa kok! Makasih ya Sammy!!” kataku merasa senang. “Tadi aku udah ke kantin tapi stoknya malah habis huhu, sedih banget!”

“Kalau terimakasih biasanya harus apa?” tanyamu dengan senyuman jahil.

Aku menggeleng. “No, we’re still in the school,” balasku tegas membuat kamu tertawa entah karena apa.

“Ahahah bercanda, kembali kasih Atara. Oiya, tadi ke kantinnya sama siapa?” tanyamu sambil menaruh siku di meja untuk menopang dagu. Tak lupa dengan pandangan teduhmu yang tak pernah lepas dariku.

“Sama Hasta, sama Renjana juga.” Aku membalas dengan cengiran.

Good, yang penting jangan sendirian ya.”

“Kenapa?”

“Nanti kamu hilang dan aku nggak punya Tuan Putri lagi buat dimanjain.”

“Aku bukan Tuan Putri!” elakku sambil membuang muka saat merasakan pipiku memanas, sedangkan kamu tertawa puas sembari mengatakan kalau anak yang suka pundung akan semakin mirip dengan seorang putri.

Sebenarnya, kita ini apa?

Apakah ini normal untuk anak lelaki seperti kami?

Tapi aku yang tenggelam di lautan euforia, selalu menganggap hubungan kami adalah sesuatu yang normal. Sebagaimana wajarnya pertemanan antara anak laki-laki karena kami, tumbuh bersama.

Tetapi pada kenyataannya, hal yang kukatakan ‘bodoh’ pada Anna saat itu, secara perlahan bermekaran hebat seperti bunga di musim semi. Bertumbuh bersamamu kurasakan sebagai hal terbaik dalam hidupku, keberuntungan yang membawa suka cita di hari-hari masa remajaku, sampai orang-orang menyadarkanku atas afeksi tak biasa yang kamu berikan.

Tentang kamu yang selalu ada untuk tuan putri manjamu ini.

--

--

Greyy
Greyy

No responses yet